• Kategori

  • Arsip

Korupsi Legislatif Versus Otonomi Daerah

 

BENAR-benar ironis. Otonomi daerah yang diharapkan mensejahterakan rakyat di republik ini ternyata melahirkan desentralisasi korupsi yang cenderung memeras rakyat. Korupsi tersebar luas tidak hanya di lingkungan eksekutif-yudikatif, tetapi menjalar di legislatif karena otonomi memberikan peluang baru bagi lembaga ini menunjukkan kekuasaannya.

 

CONTOHNYA bisa disimak pada kasus “menghebohkan” DPRD Sumatera Barat. Awalnya, dengan alasan otonomi dan atas nama kekuasaan, DPRD Sumbar itu menyusun anggaran. Bahkan, pihak eksekutif tidak ada hak untuk mempertanyakan, kecuali menyetujui. Ada kesan, eksekutif (gubernur) terpaksa harus menyetujui, nrimo, sebab kalau tidak, akan ada risiko; laporan pertanggungjawaban gubernur (terancam) ditolak. Gubernur mana yang rela “turun di jalan” karena dinilai gagal dan lalu diberhentikan DPRD sebelum habis masa jabatan?

 

APBD Sumbar Tahun 2002 akhirnya menimbulkan pro-kontra. Sebab, DPRD Sumbar menetapkan peraturan daerah (perda) tentang plafon APBD 2002 Sumbar sebesar Rp 453,8 miliar, tanggal 31 Januari 2002 (seharusnya APBD Sumbar paling lambat sudah ditetapkan tanggal 14 Desember 2001). Perda ini tidak mempunyai makna apa-apa bagi Sumbar, karena DPRD Sumbar tidak menggunakan pertimbangan logis dalam mengambil keputusan.

 

“Perda plafon APBD Sumbar 2002 itu terlambat dari yang ditetapkan UU No 22/1999. Dengan demikian, perda ini sudah useless dan meaningless atau tidak efektif dan efisien untuk mengatasi pelanggaran prosedur hukum. Dari sisi hukum, perda itu dapat dinyatakan batal demi hukum,” kata ahli ekonomi dari Universitas Andalas, Werry Darta Taifur. Ketidakmampuan anggota DPRD membahas RAPBD dalam jangka waktu yang tersedia lebih banyak disebabkan oleh penyusunan RAPBD 2002 yang tidak mengikuti Pasal 21, Ayat 1,2, dan 3 PP No 105/2000.

 

Menurut Werry, Perda Plafon APBD Sumbar ini sedikitnya menimbulkan dampak negatif, yakni DPRD tidak terpacu untuk meningkatkan kinerjanya. Peluang untuk melakukan pemborosan oleh pihak eksekutif dan legislatif akan semakin terbuka.

 

Negosiasi antar pihak eksekutif dan legislatif semakin intens untuk program dan kegiatan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Selama ini ada pos penerimaan yang tidak dihitung secara cermat dan tidak dikemukakan secara transparan, sehingga dapat dinegosiasikan. Fenomena ini sangat merugikan rakyat dan menguntungkan eksekutif serta legislatif.

 

KASUS korupsi legislatif tidak hanya terjadi di Sumbar, tetapi juga terjadi di DPRD provinsi dan kota/kabupaten lain. Menurut Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, sekitar 269 anggota DPRD provinsi dan kota/kabupaten di Indonesia diduga terkait kasus korupsi dan Presiden Megawati Soekarnoputri telah dimintakan izinnya, agar mereka dapat dikenakan tindakan pemanggilan dan pemeriksaan oleh pihak kepolisian.

 

“Presiden Megawati sudah memberikan izin bagi pemeriksaan atas 68 dari 269 anggota DPRD yang diduga korupsi tersebut,” katanya. Sementara itu, Kejaksaan Tinggi di tujuh provinsi sudah melakukan penyidikan atas kasus korupsi yang terkait dengan para anggota DPRD tersebut, yaitu Sumbar (53 tersangka), Sumsel (85 tersangka), lampung (75), Jabar (41), DI Yogyakarta (11), Sulut (1), dan NTB (3).

 

Selain 53 anggota DPRD Sumbar yang kini jadi pesakitan di Pengadilan Padang itu, Pimpinan dan anggota DPRD Padang (45 orang) juga tengah diusut Kejaksaan Negeri Padang. Enam orang yang sudah diperiksa, dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi sebesar Rp 9,6 miliar. Anggota lain menyusul diperiksa dan mungkin jadi tersangka pula.

 

Lalu, kasus dugaan korupsi di DPRD Sawahlunto Sijunjung (35 orang) juga akan memasuki tahap pemeriksaan. “Kami sudah menerima surat izin dari Gubernur Sumbar untuk memeriksa ketua dan anggota DPRD,” kata Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar, RJ Soehandoyo SH. Laporan dugaan korupsi DPRD kota/kabupaten lain di Sumbar juga sudah masuk, tinggal penyidikan dari tim Kejaksaan Tinggi Sumbar. Kalau dugaan itu benar, pimpinan dan anggota DPRD akan diperiksa.

 

Dengan demikian, Sumbar yang menurut laporan Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSSK) masuk dalam kategori tujuh provinsi terkorup di Indonesia (buku Budaya Korupsi ala Indonesia, PSSK, cetakan I-Januari 2002), menempatkan diri sebagai daerah dengan jumlah tersangka anggota DPRD terbanyak.

 

Modus yang dilakukan DPRD Sumbar dan DPRD kota/kabupaten lain di Sumbar hampir sama, yakni tidak mengacu ke PP No 110 Tahun 2000. Untung ada Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) yang mencermati APBD Sumbar dan APBD Kota Padang, sehingga laporan tindak pidana korupsi di legislatif itu ditindaklanjuti Kejaksaan Tinggi Sumbar.

 

Mencermati kasus DPRD Sumbar, modus yang dilakukan adalah dengan membuat anggaran yang saling tumpang tindih (duplikasi), anggaran yang tak ada dalam aturan PP No 110/2000. Menurut Koordinator FPSB Saldi Isra, penyimpangan itu antara lain pengalokasian dana premi asuransi pimpinan dan anggota DPRD sebesar Rp 2.519.200 per orang setiap bulan. Ini sebenarnya kedok untuk nantinya dana ini sebagai pesangon, bila tugas mereka berakhir. Karena tak ada ketentuan pesangon, dicari bentuk yang lebih halus, yakni asuransi. Padahal, dalam PP No 110/2000 pemberian premi asuransi ini tidak dikenal.

 

Kemudian, pengalokasian dana tunjangan kesejahteraan sebesar Rp 2 juta per orang per bulan. Pengalokasian dana tunjangan ini dimunculkan lagi pada pos lain dalam bentuk pengalokasian dana tunjangan pemeliharaan kesehatan sebesar Rp 367.014.000. Padahal, yang dimaksud dengan tunjangan kesejahteraan dalam PP No 110 tidak lain adalah tunjangan kesehatan itu sendiri yang diberikan dalam bentuk jaminan asuransi kesehatan. Dengan demikian, telah terjadi duplikasi pos anggaran tunjangan kesejahteraan.

 

Modus lain, pengalokasian dana sewa rumah dinas wakil ketua dan anggota serta sekretaris DPRD sebesar Rp 643.100.000. Termasuk pengalokasian biaya perjalanan dinas DPRD untuk studi banding program Indonesia Malaysia Thailand-Growth Triangle (GT) dan Indonesia Malaysia Singapura-GT, senilai Rp 797.500.000.

 

“Pengalokasian biaya perjalanan dinas ini sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi. Oleh karena itu, ia dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum dengan pengertian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001,” kata Saldi Isra, yang juga pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang.

 

Sementara itu, Kejaksaan Negeri Sumbar dalam Surat Dakwaan kasus dugaan korupsi DPRD Sumbar ini menyebutkan; ada tujuh pos anggaran dalam anggaran belanja DPRD yang menyimpang dari ketentuan PP No 110/2000, yakni tentang uang representasi, tunjangan kesejahteraan, tunjangan kesehatan, tunjangan kehormatan, tunjangan komisi, biaya penunjang kegiatan DPRD, dan uang kehormatan. Sedang dalam belanja rutin sekretariat, ada empat pos anggaran yang menyimpang, yakni pos tunjangan tetap badan pertimbangan daerah, sewa gedung, pembelian bahan bakar minyak dan pelumas, dan biaya perjalanan dinas. Total kerugian keuangan negara Rp 5.904.105.350.

 

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Sumbar ternyata memperkuat laporan FPSB dan temuan Kejaksaan Tinggi Sumbar. Dua orang dari BPKP Sumbar, Zulkarnain SE MPd (Ketua Tim Audit) dan Bimo Abdul Kadir Akt (pengawas dalam tim audit), yang tampil sebagai saksi ahli dalam persidangan hari Senin (20/10) menyebutkan, terdapat 14 mata anggaran yang dibuat tidak berdasarkan PP No 110 Tahun 2000. Alamak.

 

Kalau mau diungkap, anggota DPRD Sumbar ini bisa digugat berkali-kali ke Pengadilan Negeri Padang. Karena dugaan korupsi tidak hanya terjadi pada anggaran APBD tahun 2002, tetapi juga tahun 2001, dan juga pada APBD Sumbar tahun 2003.

 

Bahkan, menurut Mohammad Zen Gomo, anggota Komisi C DPRD Sumbar yang mogok kerja dan kemudian mengundurkan diri setelah duduk 2,5 tahun sebagai anggota DPRD, yang kini menjadi saksi, mengungkapkan adanya indikasi kolusi antara legislatif dan eksekutif.

 

“Ada penyimpangan pemakaian anggaran DPRD yang dibebankan kepada anggaran eksekutif, yang bertentangan dengan UU No 22 Tahun 1999 Pasal 19 ayat G dan petunjuk pelaksanaan APBD. Anggaran tersebut dibebankan kepada anggaran eksekutif, karena mata anggaran dimaksud tidak terdapat pada mata anggaran DPRD,” katanya.

 

Dengan terus terang Gomo menyebutkan anggaran yang tak sesuai ketentuan itu, yakni menggunakan mata anggaran Dana Tak Tersangka Kantor Gubernur dengan jumlah 54 orang sebesar Rp 364.500.000. Pemberian oleh PT Semen Padang melalui fraksi masing-masing untuk sebanyak 54 orang dengan jumlah Rp 270.000.000. Bantuan uang Lebaran selama dua tahun untuk sebanyak 54 orang, dengan total jumlah Rp 270.000.000. Dan bantuan bagi mereka yang naik haji (sebanyak lebih kurang 10 orang) sebesar Rp 25.000.000. Ini fakta lain di luar pelanggaran terhadap PP No 110 Tahun 2000, yang juga bias diusut.

 

Bahkan, dana aspirasi sebesar Rp 11 miliar (untuk 55 anggota DPRD Sumbar) menurut koordinator FPSB dan juga pakar hukum tata negara, Saldi Isra, juga termasuk indikasi kolusi. Baru-baru ini ada kasus, seorang anggota DPRD Sumbar memberikan bantuan Rp 12 juta kepada pengurus suatu mushala. Akan tetapi, yang bisa diterima pengurus hanya Rp 5 juta, sedangkan Rp 12 juta lainnya menurut “surat keterangan” dari anggota DPRD itu, harus diserahkan ke pihak lain (menyebut sebuah nama). Namun, pihak dimaksud, ketika dikonfirmasi, mengaku tak tahu menahu dengan uang yang Rp 12 juta tersebut.

 

PERSIDANGAN kasus korupsi DPRD Sumbar di Pengadilan Negeri Padang sudah berjalan hampir tujuh bulan, sejak 12 April 2003. Mencermati persidangan yang berlangsung dua kali dalam sepekan itu, ada yang menarik untuk disimak. Ternyata, para terdakwa merasa benar dengan apa yang telah ia lakukan (dan menikmati). Hampir semua keterangan saksi dibantah dan dinyatakan sebagai tidak benar.

 

Bahkan, penasihat hukum terdakwa Arwan Kasri (Ketua DPRD Sumbar) dan Ny Hj Hasmesti Oktini alias Ny Hj Titi Nazif Lubuk (Wakil Ketua DPRD Sumbar), Rusdi Zen SH, menyatakan bahwa dengan telah dibatalkannya Peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000 oleh Mahkamah Agung RI, maka tidak sepatutnya Mendagri masih menerbitkan izin a quo. Apalagi, surat a quo itu dibatalkan demi hukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, tanggal 1 Mei 2003.

 

“Fakta yuridis menunjukkan, PP No 110 Tahun 2000 telah dibatalkan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan putusannya Reg No 04 G/HUM/2001 tanggal 9 September 2002, karena bertentangan dengan Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD demikian pula dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,” jelas Rusdi Zen.

 

Lebih dari pada itu, kelahiran PP No 110 Tahun 2000 tersebut nyata-nyata telah menabrak adagium lex superior derogat lege inferiori. Jadi sejak lahir dia telah cacat, sehingga demi hukum harus dianggap tidak pernah lahir atau tidak perlu dipakai.

 

Tentang PP No 110 Tahun 2000 itu, menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar, waktu itu Halius Hosen, hanya berlaku 90 hari. Artinya, kalau Presiden mencabut PP tersebut dalam tenggang waktu 90 hari itu, maka PP No 110 Tahun 2000 itu betul tidak sah, tidak digunakan lagi. Akan tetapi, karena sampai habis tenggang waktu Presiden tidak mencabutnya, maka PP No 110 Tahun 2000 itu masih dinyatakan berlaku.

 

Mendagri Hari Sabarno pernah menegaskan bahwa PP No 110 Tahun 2000 diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001 lalu dan diatur dalam UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, masih tetap berlaku dan harus menjadi acuan dalam penyusunan APBD.

 

Dengan dasar itu, sampai sekarang kasus korupsi DPRD Sumbar ini masih berlanjut di PN Padang. Persidangan belum sampai ke pembacaan tuntutan dan vonis. Namun demikian, masyarakat Sumbar berharap jangan sampai ada “permainan mata” antara hakim dengan terdakwa.

 

“Hukum mereka di penjara dan denda seberat-beratnya karena telah memakan uang amanah rakyat. Selain itu, agar menjadi pelajaran untuk wakil rakyatpada Pemilu 2004,” kata Asril Koto, tokoh pemuda dari Olo, Padang. (YURNALDI)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/25/Fokus/644679.htm

Tinggalkan komentar